Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan tidak berwenang untuk menilai putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang paling rendah 40 tahun atau yang pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
“MKMK tidak berwenang untuk menilai putusan Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan kesimpulan di Gedung MK RI, Jakarta, Selasa.
Lebih lanjut, anggota MKMK Wahiduddin Adams menjelaskan bahwa MKMK diberi kewenangan untuk menjangkau segala upaya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
“Berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 1 angka 4 PMK 1/2023, Majelis Kehormatan merupakan perangkat yang dibentuk untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta kode etik dan perilaku hakim konstitusi,” ucap dia.
Namun, lanjut Wahiduddin, MKMK tidak berwenang untuk melakukan penilaian hukum terhadap putusan MK, terlebih lagi mempersoalkan keabsahan atau ketidakabsahan suatu putusan MK.
Dia menjelaskan bahwa jika MKMK menyatakan berwenang untuk menilai putusan MK, maka hal tersebut telah melampaui batas kewenangannya dengan mendudukkan Majelis Kehormatan seakan memiliki superioritas hukum tertentu terhadap MK.
“Hal ini sama artinya dengan Majelis Kehormatan melecehkan prinsip kemerdekaan yang melekat pada MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sekaligus melabrak sifat final dan mengikat putusan MK sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK,” papar Wahiduddin.