Aksi intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian terhadap pekerja seni, patut disayangkan. Apalagi, jika hal itu bisa menghambat ide-ide budayawan dalam mengekspresikan pemikirannya.
Misalnya saja terhadap apa yang dialami budayawan, Butet Kartaredjasa. Saat menggelar pertunjukan kesenian di Taman Ismail Marzuki (TIM), Menteng, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu, Butet justru dibatasi aparat kepolisian. Pembatasan yang dilakukan polisi itu dinilai sebagai bentuk intimidasi terhadap dirinya.
Butet lantas menceritakan bagaimana peristiwa itu terjadi. “Dua hari lalu saya mencicipi satu peristiwa intimidasi dalam pertunjukan kesenian saya, tanggal 1 dan 2 November lalu,” ujar Butet di Surabaya, dilansir dari jpnn, Rabu (6/12).
Saat itu, Butet menggelar pertunjukan teater bertajuk Musuh Bebuyutan. Sebelum pertunjukan itu, polisi menyodorkan kertas untuk untuk menandatangani surat berisi beberapa larangan saat melakukan pertunjukan di atas panggung.
“Saya diminta menandatangani surat yang salah satu itemnya berbunyi, saya tidak boleh bicara politik, kampanye, tanda gambar, dan urusan pemilu,” katanya.
Larangan itu tentu saja menjadi tanda tanya bagi Butet. Pasalnya, selama 41 kali pertunjukannya selama ini, baru pertama kali mendapatkan intimidasi seperti itu.
“Kami ini diintervensi, dihambat. ini yang saya maksudkan intimidasi,” jelasnya.
Memang kata Butet tidak ada intimidasi secara verbal ataupun fisik dari kepolisian. Namun, aksi pelarangan untuk berbicara atau menyinggung tentang politik, kampanye dan urusan pemilu sebagai bentuk intimidasi terhadap dirinya.