Pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Eriyanto, mengungkapkan bahwa argumen mengenai ketidakadilan dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, versi 27 Maret 2024, sulit diterima.
“Memperlakukan semua bentuk penyiaran secara sama dengan argumen bahwa ada ketidakadilan sulit diterima, karena pada kenyataannya, serta jika dibandingkan dengan praktik di beberapa negara, terdapat perbedaan regulasi antara penyiaran internet dengan penyiaran terestrial,” ungkap Eriyanto dalam sebuah diskusi daring dari Jakarta pada hari Jumat, dikutip dari ANTARA.
Eriyanto menyampaikan pandangannya ini sebagai tanggapan terhadap rencana perluasan cakupan pengawasan penyiaran dalam RUU tersebut, yang kini mencakup penyiaran dalam internet selain penyiaran terestrial.
Menurutnya, penyiaran melalui frekuensi memiliki keterbatasan frekuensi dan penonton tidak memiliki kendali atas tayangan yang mereka saksikan.
“Regulasi yang ketat pada penyiaran berbasis frekuensi didasarkan pada alasan bahwa penyiaran tersebut harus dapat diterima oleh semua kalangan dan tidak merugikan,” jelasnya.
Di sisi lain, penyiaran melalui internet memberikan kendali yang lebih besar kepada penonton, dan penyedia konten tidak perlu memiliki lisensi seperti pada penyiaran terestrial.
“Regulasi yang lebih longgar pada penyiaran OTT (over-the-top) lebih sesuai, karena penonton dapat memilih konten yang mereka sukai,” tambahnya.
Eriyanto juga menekankan bahwa siaran internet berbasis konten yang dihasilkan oleh pengguna tidak memerlukan regulasi yang ketat seperti pada penyiaran tradisional.